You Cant Keep It Unless You Give it Away

Apa yang kita tahu itu yang akan kita bagi..... dengan berbagilah kami akan semakin belajar, dengan berbagilah kami akan semakin termotivasi, dan dengan berbagi pula kami akan semakin sadar bahwa kami bukan apa-apa.

Adiksifitas Foundation
Provide

Counseling Services, Treatment and Rehabilitation, After Care Services and Vocational Learning, Support Group.

"... In this Ground , I can Take root and growth, Not alone anymore as in death... But alive to myself and Others"


Kamis, 30 Mei 2013

Pecandu Narkotika itu seperti apa sii..???

Menurut pasal 1 angka 13 UU Narkotika, dijelaskan definisi pecandu adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika baik secara fisik maupun psikis.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, definisi ketergantungan adalah:
1. Hal tergantung
2. Perihal hubungan sosial seseorang yang tergantung kepada orang lain atau masyarakat
3. Keadaan seseorang yang belum dapat memikul tanggung jawabnya sendiri
Jadi bila kalimatnya adalah “Ketergantungan Narkotika” maka dapat diartikan, individu bersangkutan tergantung kepada Narkotika baik secara fisik maupun psikis dimana individu bersangkutan belum dapat memikul tanggung jawabnya sendiri dikarenakan kondisinya yang masih dalam ketergantungan.
Banyak orang / masyarakat yang menggambarkan pecandu itu agak ngeri-ngeri sedap
- Pecandu narkotika itu jorok
- Pecandu narkotika itu bau
- Pecandu narkotika itu kriminil
- Pecandu narkotika tidak dapat mengurus dirinya, dll.
Definisi dan penggambaran ini ada salahnya dan ada tidak salahnya, karena ada beberapa hal yang perlu diketahui oleh masyarakat umum. Karakteristik seorang pecandu akan bergantung pada jenis narkotika yang disalahgunakan.
Di era 1996 - 2000an, dimana narkotika jenis heroin sangat “booming” karakteristik yang banyak muncul dan menjadi bahan ceritaan orang-orang dekat atau keluarga adalah :
- duhhh handphone saya sering banget ilang
- duh tabung gas ajaa sampe bisa ilang
- stnk ama bpkb digadein entah kemana
- anak saya jarang mandi, bangun siang terus, kalo dikamar mandi lama banget, dll
Pendapat ini tidak salah karena memang seperti itulah karakteristik yang diakibatkan oleh narkotika jenis heroin (putaw). Pertanyaan selanjutnya adalah apakah jenis narkotika lain akan mengakibatkan karakteristik yang serupa? jawabannya sangat singkat “TIDAK”
Pertanyaan sederhana, bagaimana dengan orang-orang yang mungkin menggunakan narkotika  pada saat akhir minggu (jumat, sabtu) minggu ia istirahat dan di hari senin kembali produktif (kuliah, kerja, dll.) ? disebut apa orang-orang yang seperti ini? pengguna, penyalahguna, atau pecandu? ada lagi orang-orang yang merasa dan berpendapat bahwa ia hanya “make” sesekali untuk doping dan tenaga, diluar itu bila ia tidak “make” juga tidak berdampak ke fisik, penampilan tetap necis, wangi, dll.
Alasan saya tidak mau menyebut mereka yang bermasalah dengan sebutan “Pecandu” salah satunya adalah karena hal ini. kita terlalu terkotak-kotakan oleh sebutan pengguna,  penyalahguna, korban penyalahguna, atau pecandu , sampai akhirnya kita tidak dapat membedakan mana yang pengguna, penyalahguna, atau pecandu. Akibat yang terburuk adalah, di dalam kacamata hukum sendiri pun hanya karena sebutan ini “nasib” seseorang ditentukan.
Analogi saya adalah seperti ini :
” Bila ada orang yang make hanya saat akhir minggu, dan di hari senin kembali beraktifitas normal memang sulit kita katakan sebagai pecandu, karena aspek-aspek lain pada dirinya masih dapat dijalankan dengan baik, namun bila saya melihat dari sudut pandang lain, bagaimana dengan pola pikirnya? bagaimana bila akhir minggunya tidak digunakan untuk make narkoba? memang hanya 2x dalam seminggu tapi sudah menjadi prinsip setiap akhir minggu harus mabok“.
Orang Dengan Masalah Adiksi (ODMA) akan meliputi seluruh aspek pengguna, penyalahguna, atau pecandu, mengapa? sesuai dengan definisinya Narkotika adalah satu zat yang bila dikonsumsi akan mengakibatkan perubahan mood, cara berpikir, dan perilaku. saya tekankan sekali lagi, walaupun hanya 1 kali maka akibat dari penggunaannya telah dirasakan oleh dirinya.
Contoh kasus yang baru beredar beritanya, “Hakim Puji di vonis 2 tahun penjara sangat melukai keadilan”
saya pribadi akan menambahkan tanda tanya besar dibelakang kalimat itu, Keadilan untuk siap? Keadilan yang mana? Apakah karena Hakim Puji masih dapat produktif dan tidak terlihat jorok maka tidak dapat disebut pecandu ? Apakah karena profesinya yang seorang Hakim? Narkotika tidak pernah kenal dengan status, jabatan, ekonomi, agama, dll. yang disasar oleh narkotika adalah individu, dan bukan embel-embel apa yang dijabat.
Bilamana sampai tahun 2013 kita masih terdoktrin oleh hal-hal dan penilaian-penilaian seperti ini, mengapa tidak langsung ambil keputusan saja Pengedar dan Pengguna hukum mati!! selesai urusan. kirta tidak perlu berargumen panjang lebar mengenai dualisme pemidanaan dalam UU narkotika bagi pengguna dan pecandu, kita tidak perlu berargumen rehabilitasi adalah tempat bagi pengguna dan pecandu, dan kita tidak perlu buang-buang anggaran untuk bikin diskusi dimana-mana tapi hasilnya adalah NOL BESAR.
#Supportdontpunish

Rabu, 15 Mei 2013

Orang Dengan Masalah Adiksi (ODMA) dilihat dari sudut pandang Viktimologi


Buku Masalah Korban kejahatan karangan Arif Gosita diberikan penjelasan mengenai arti Viktimologi, dalam buku tersebut menyebutkan bahwa “Viktimologi adalah suatu pengetahuan ilmiah/studi yang mempelajari viktimisasi (criminal) sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial.” Viktimologi berasal dari kata Latin victima yang berarti korban dan logos yang berarti pengetahuan ilmiah atau studi.

Viktimologi meneliti topik-topik tentang korban, seperti: peranan korban pada terjadinya tindak pidana, hubungan antara pelaku dengan korban, rentannya posisi korban dan peranan korban dalam sistem peradilan pidana. Selain itu, menurut Muladi viktimologi merupakan studi yang bertujuan untuk :
a.      Menganalisis berbagai aspek yang berkaitan dengan korban;
b.      Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya viktimisasi;
c.      Mengembangkan sistem tindakan guna mengurangi penderitaan manusia.
Menurut J.E. sahetapy ruang lingkup viktimologi “meliputi bagaimana seseorang (dapat) menjadi korban yang ditentukan oleh victim yang tidak selalu berhubungan dengan masalah kejahatan, termasuk pula korban kecelakaan, dan bencana alam selain dari korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan”.

Tipologi korban itu sendiri terbagi menjadi 2, yaitu  :

1.  Korban Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan. Melalui kajian perspektif ini, maka Ezzat Abdel Fattah menyebutkan beberapa tipilogi korban, yaitu; 
    • Nonparticipating victims adalah mereka yang menyangkal/menolak kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan.
    • Latent or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai karakter tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu. 
    • Provocative victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau pemicu kejahatan. 
    • Particapcing victims adalah mereka yang tidak menyadari atau memiliki perilaku lain sehingga memudahkan dirinya menjadi korban. 
    • False victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri. 
2.   Korban ditinjau dari perspektif tanggung jawabkorban itu sendiri maka Stepen Schafer mengemukakan tipologi korban menjadi tujuh bentuk yaitu : 
  • Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si pelaku dan menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu, dari aspek tanggung jawab sepenuhnya berada di pihak korban. 
  • Proactive victims merupakan korban yang disebabkan peranan korban untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek tanggung jawab terletak pada diri korban dan pelaku secara bersama-sama. 
  • Participacing victims hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat mendorong pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil uang di bank dalam jumlah besar yan tanpa pengawalan, kemudian dibungkus dengan tas plastik sehingga mendorong orang untuk merampasnya. Aspek ini pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku. 
  • Biologically weak victim adalah kejahatan disebabkan adanya keadaan fisik korban seperti wanita, anak-anak, dan manusia lanjut usia (manula) merupakan potensial korban kejahatan. Ditinjau dari pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat karena tidak dapat memberi perlindunga kepada korban yang tidak berdaya. 
  • Socially weak victims adalah korban yang tidak diperhatikan oleh masyarakat bersangkutan seperti gelandangan dengan kedudukan sosial yang lemah. Untuk itu, pertanggungjawabannya secara penuh terletak pada penjahat atau masyarakat.
  • Self victimizing victims adalah koran kejahatan yang dilakukan sendiri (korban semu) atau kejahatan tanpa korban. Untuk itu pertanggungjawabannya sepenuhnya terletak pada korban sekaligus sebagai pelaku kejahatan. 
  • Political victims adalah korban karena lawan polotiknya. Secara sosiologis, korban ini tidak dapat dipertnggungjawabkan kecuali adanya perubahan konstelasi politik (Lilik Mulyadi,2003:123-125).
Terkait dengan Orang Dengan Masalah Adiksi, yang di dalam Undang-undang Narkotika dikenal dengan nama Penyalahguna, Korban Penyalahgunaan Narkotika, atau Pecandu Narkotika.
Menurut Pasal 111, 112, dan 127 UU Narkotika, Penyalahgunaan Narkotika masih termasuk ke dalam Kejahatan, karena hal ini diatur di dalam ketentuan pidana dan diancamkan pidana penjara dalam durasi waktu tertentu, walaupun pada pasal lain ada wacana yang menyatakan bahwa Kecanduan Narkotika adalah sebuah bentuk penyakit yang membutuhkan terapi dan rehabilitasi agar dapat pulih dari kecanduannya.

Bila kita telaah dari teori Viktimologi, ada 2 tipologi korban yang penulis garis bawahi, yaitu :
  1. False Victims (Mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri )
  2. Self Victimizing Victims (korban kejahatan yang dilakukan sendiri (korban semu) atau kejahatan tanpa korban. Untuk itu pertanggungjawabannya sepenuhnya terletak pada korban sekaligus sebagai pelaku kejahatan.)
Dilihat dari sudut pandang viktimologi, maka Penyalahguna, Korban Penyalahguna, dan Pecandu Narkotika dapat dimasukan dalam kategori KORBAN.
Memang akan tetap ada pertanggung jawaban yang dibebankan kepada si Pelaku, namun dilihat dari sifatnya maka dapat dipikirkan secara logis, kira-kira bentuk pertanggungjawaban apa yang sepatutnya diberikan.

Penjara? atau Pembinaan dalam bentuk Terapi dan Rehabilitasi?


Senin, 13 Mei 2013

Penegakan Hukum Atau Penegakan Undang-undang?

Penegakan Hukum atau Penegakan Undang-undang? Dari pertanyaan ini mungkin akan ada yang merespon “Undang-undang khan sama dengan Hukum“, “Dengan Menegakan Undang-undang maka sama saja kita sudah menegakan Hukum“. Apakah demikian?
Dari awal saya kuliah sampai dengan hari ini, saya belum menemukan 1 definisi yang disepakati bersama mengenai arti kata “Hukum”. Namun menurut beberapa Ahli, mereka mendefinisikan Hukum sebagai berikut :
  1. Plato, dilukiskan dalam bukunya Republik. Hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat ;

  2. Aristoteles, hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim. Undang-undang adalah sesuatu yang berbeda dari bentuk dan isi konstitusi; karena kedudukan itulah undang-undang mengawasi hakim dalam melaksanakan jabatannya dalam menghukum orang-orang yang bersalah ;

  3. Duguit, hukum adalah tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama terhadap orang yang melanggar peraturan itu;

  4. Immanuel Kant, hukum adalah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak dari orang yang satu dapat menyesuaikan dengan kehendak bebas dari orang lain memenuhi peraturan hukum tentang Kemerdekaan :

  5. Van Apeldoorn, hukum adalah gejala sosial tidak ada masyarakat yang tidak mengenal hukum maka hukum itu menjadi suatu aspek kebudayaan yaitu agama, kesusilaan, adat istiadat, dan kebiasaan;

  6. E. Utrecht, menyebutkan: hukum adalah himpunan petunjuk hidup –perintah dan larangan– yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh seluruh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena itu pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa itu;

  7. Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A., dan Purnadi Purbacaraka, S.H. menyebutkan arti yang diberikan masyarakat pada hukum sebagai berikut:
    • Hukum sebagai ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran.

    • Hukum sebagai disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi.

    • Hukum sebagai kaidah, yakni pedoman atau patokan sikap tindak atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan.

    • Hukum sebagai tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat kaidah-kaidah hukum yang berlaku pada suatu waktu.

    • Hukum sebagai petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum.

    • Hukum sebagai keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi yang menyangkut keputusan penguasa.

    • Hukum sebagai proses pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal-balik antara unsur-unsur pokok sistem kenegaraan.

    • Hukum sebagai sikap tindak ajeg atau perikelakuan yang teratur, yaitu perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.

    • Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan-jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang baik dan buruk.
Definisi Undang-undang itu sendiri adalah sbb :
  1. Adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan bersama Presiden. Undang-undang memiliki kedudukan sebagai aturan main bagi rakyat untuk konsolidasi posisi politik dan hukum, untuk mengatur kehidupan bersama dalam rangka mewujudkan tujuan dalam bentuk Negara. Undang-undang dapat pula dikatakan sebagai kumpulan-kumpulan prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintah, hak rakyat, dan hubungan di antara keduanya.

  2. Ketentuan dan peraturan negara yg dibuat oleh pemerintah (menteri, badan eksekutif, dsb), disahkan oleh parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat, badan legislatif, dsb), ditandatangani oleh kepala negara (presiden, kepala pemerintah, raja), dan mempunyai kekuatan yg mengikat;

  3. Aturan yg dibuat oleh orang atau badan yg berkuasa.
Bila kita mempelajari hukum, maka hal terpenting yang kita pelajari adalah bagaimana agar Keadilan dapt terwujud. “Fiat Justitia Ruat Caelum” (Keadilan Harus Ditegakan walaupun Langit akan Runtuh). Hal ini yang sepatutnya dipegang oleh para aparat yang katanya “Penegak Hukum”.
Pertanyaan sederhana :
- Apakah Membunuh orang lain akan dipidana?
Perbedaan jawaban menurut Penulis
  1. Menurut Hukum : BELUM TENTU, karena :
  • Perlu dilihat Alasan mengapa ia membunuh (Causalitas)

  • Perlu dilihat kondisi kejiwaan terdakwa

  • Perlu dilihat apakah terdakwa memenuhi unsur-unsur dasar peringan, dasar pembenar, atau dasar pemaaf

  • dan hal-hal lainnya.
2. Menurut Undang-undang : PASTI, karena melanggar Pasal 338 - 340 KUHP
Dalam Kasus Penyalahgunaan Narkotika, Organisasi kesehatan dunia telah memberikan definisi mengenai Adiksi. Adiksi adalah Penyakit Otak Kronis yang bersifat kambuhan (Brain Chronicle Disease). UU Narkotika dalam ketentuan Pidananya mengatur bahwa Siapapun yang memiliki, menguasai, menyimpan dan lain-lain diancam dengan pidana penjara minimal 4 tahun.
Bila Polisi menangkap seseorang yang terindikasi masuk dalam kategori Pecandu atau Korban Penyalahgunaan lalu menerapkan pasal 111-112 (ancaman pidana penjara min. 4 tahun) maka penulis berpendapat hal tersebut merupakan penegakan Undang-undang belaka.
Penyikapan seperti ini memberikan kesan Negara tidak peduli dengan nasib para pecandu dalam arti Negara tidak memperdulikan kondisi medis, kondisi psikis, dan/atau masa depan yang bersangkutan.
 
UUD 1945 setelah Amandemen

Pasal 28 A
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya

Pasal 28 H
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan

Orang Dengan Masalah Adiksi yang notabene merupakan Orang Sakit dimana seharusnya ia memperoleh layanan kesehatan (medis dan psikis) malah mendapatkan ancaman pidana minimal 4 tahun. Kalaupun ada Pasal yang mengatur tentang penempatan di Rehabilitasi, kata-kata di dalamnya masih menggunakan frasa “dapat” bukan “wajib”. Bilamana Hakim mendapatkan kasus penyalahgunaan narkotika maka ia tidak terikat kewajiban untuk memutus Rehabilitasi, itu semua katanya tergantung “dapat” apa saya untuk memutus Rehabilitasi. Celah-celah seperti inilah yang akhirnya menimbulkan polemik di masyarakat.

Kriminalisasi VS Dekriminalisasi


Kriminalisasi (UU No.35 tahun 2009 tentang Narkotika)

  1. Adiksi (Penyalahgunaan, KorbanPenyalahgunaan, Pecandu) masih dilihat sebagai sebuah kejahatan menurut Undang-undang No.35 tahun 2009, tentang Narkotika dengan berlakunya Pasal 111, 112, 114 (yang terdapat dalam bab ketentuan pidana)
  2. Ancaman Pidana yang telah direvisi menjadi ancaman pidana Minimal 4 tahun (dengan kata lain Hakim tidak dapat memutus dibawah 4 tahun).
Namun di sisi lain, UU Narkotika juga berupaya menerapkan Dekriminalisasi khususnya terhadap Pecandu dan Korban Penyalahguna Narkotika.

Dekriminalisasi (UU No.35 tahun 2009 tentang Narkotika)

Pasal 128 ayat : 


(2) Pecandu Narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh orang tua 
atau walinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) tidak dituntut pidana.
 
(3) Pecandu Narkotika yang telah cukup umur sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 55 ayat (2) yang sedang menjalani rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa
perawatan dokter dirumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang 
ditunjuk oleh pemerintah tidak dituntut pidana.
 Pertanyaan yang timbul :
  1. Bagaimana bila Pecandu tersebut tidak menjalani Rehabilitasi Medis, Namun menjalankan Rehabilitasi Sosial yang diadakan oleh Masyarakat? Apakah tetap dituntut Pidana?
  2. Bagaimana dengan Pecandu yang telah cukup umur dan telah melapor diri? Apakah akan tetap dituntut pidana?
Upaya-upaya Advokasi Dekriminalisasi :
  1. Kementerian Kesehatan telah menunjuk RSJ, RSKO, Puskesmas sebagai Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) dalam hal Penerapan Rehabilitasi Medis
  2. Kementerian Sosial dengan SK Menteri Sosial No.36/HUK/2013, telah menunjuk Panti sosial dan Lembaga Rehabilitasi yang diadakan oleh Masyarakat sebagai IPWL
  3. Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No 03/2011 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika di dalam Rehabilitasi Medis atau Rehabilitasi Sosial
  4. Kejaksaan Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Perihal Tuntutan Rehabilitasi terhadap Pecandu dan Korban Penyalahguna Narkotika.
  5. Peraturan Kepala BNN No.02 tahun 2011 tentang Tata Cara Penanganan Tersangka atau Terdakwa Penyalahguna, Korban Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika
Pendapat Ahli :

  1. Prof. Jimly Asshiddiqie : "Undang-undang / Aturan Hukum boleh saja menerapkan sistem pemidanaan campuran di dalamnya demi keadilan, asalkan dibatasi untuk tiap kasus hanya dapat diterapkan 1 sistem pemidanaan  untuk kepastian yang Adil"
Pernyataan ini menanggapi pertanyaan Penulis mengenai Pendapat Beliau mengenai 2 sistem pemidanaan yang ada di dalam UU Narkotika (Pidana Penjara dan Rehabilitasi) khusus bagi Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika.

Pendapat Penulis :
  1. Perlu dilakukan Penelitian jumlah kasus yang mendapatkan Putusan Pidana Rehabilitasi dan Pidana Penjara.
  2. Perlu dilakukan Penelitian atas jumlah tersangka/terdakwa Pecandu atau Korban Penyalahgunaan Narkotika yang mendapatkan hak untuk dirujuk ke Rehabilitasi Medis atau Sosial
  3. Perlu dilakukan Penelitian perihal keberlakuan Kartu Wajib Lapor / Surat Keterangan Lapor diri bagi Pecandu atau Korban Penyalahgunaan Narkotika yang tertangkap

Kamis, 09 Mei 2013

Kompleksitas Adiksi dalam Peraturan

Pasal 54
Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib
menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial

Di dalam Iman dan Keyakinan saya, Kata Wajib memiliki definisi yang bila dijalankan dan tidak dijalankan akan memiliki dampaknya masing-masing, contoh: Shalat itu WAJIB, bila kita Shalat mendapatkan pahala dan bila kita tidak Shalat akan berdosa.

Pasal 111
(1)Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara,memiliki, menyimpan, menguasai,atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun……………….

Dari kata-kata yang saya Bold, sampai saat ini saya coba berpikir keras, adakah korban penyalahguna atau pecandu narkotika yang menggunakan narkotika tanpa memenuhi unsur-unsur “Memiliki, Menyimpan, dan Menguasai”?

Pasal 57
Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis,penyembuhan Pecandu Narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional.

Pasal 58
Rehabilitasi sosial mantan Pecandu Narkotika diselenggarakanbaik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat

Pasal 128
3) Pecandu Narkotika yang telah cukup umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat(2)  yang sedang menjalani rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter di rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk oleh pemerintah tidak dituntut pidana.

Pertanyaan saya berikutnya adalah :
- Bagaimana dengan pernyataan yang ada dalam pasal 58?
- Bagaimana bila pecandu bersangkutan menjalankan rehabilitasi nya di Rehabilitasi Sosial yang banyak dilakukan oleh Masyarakat? Akan tetap dituntut pidana kah?

Pasal 103
(1)Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat:
a.memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah
melakukan tindak pidana Narkotika; ….

Menurut pendapat saya pribadi kata “Dapat” sangat berbeda dengan kata “Wajib” sebagaimana disebutkan dalam pasal 54. kata-kata “Dapat” bermakna Hakim tidak terikat dengan kewajiban rehabilitasi terhadap pecandu narkotika, dalam arti “Penjara” masih menjadi menjadi ancaman hukuman “Idola” bagi sebagian aparat hukum.

Pasal 127
(1)Setiap Penyalah Guna:
a.Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;
b.Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan
c.Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

(2)Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.

(3)Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, PenyalahGuna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Berdasarkan data Lembaga Pemasyarakatan Cipinang terbaru (2011 - 2012), jumlah terpidana dari kasus penyalahgunaan narkotika hampir mencapai 70% dari seluruh terpidana yang ada. Berdasarkan fakta ini, saya pribadi menarik kesimpulan bahwa wacana pemulihan masih merupakan “barang baru” dalam kacamata penegakan hukum. Padahal jauh sebelum
Undang-undang ini disahkan (2009), telah ada teori tujuan pemidanaan yang bersifat rehabilitatif yang berarti pemidanaan ditujukan untuk mengembalikan kondisi terpidana ke kondisi sebelum terjadinya tindak pidana.

Apakah Penyalahguna, Korban Penyalahguna, atau Pecandu Narkotika tidak memiliki Hak untuk Pulih?

Sabtu, 04 Mei 2013

ADIKSI VS NARKOTIKA

Pengguna, Korban Penyalahguna, Penyalahguna, dan Pecandu merupakan Sebutan-sebutan bagi individu terkait dengan Penyalahgunaan Narkotika yang tertera didalam UU No.35 tahun 2009 tentang Narkotika. Sejak ramainya kasus salah satu selebritis yang tertangkap di rumahnya, Pidana rehabilitasi ramai dibicarakan, ada yang mengatakan “Rehab itu hanya untuk pecandu“, di sisi lain ada yang mengatakan “Dia (RA) khan sehat-sehat saja, lantas buat apa di rehab“, beberapa ahli mengatakan “berdasarkan asesmen ia memiliki sejarah penyalahgunaan dan harus di rehab“.
Saya sebagai orang awam cukup bingung dengan ketentuan hukum yang berlaku bagi pasal Narkotika ini, khususnya sistem pemidanaan rehabilitasi. Bilamana, Bagaimana, Apa, Mengapa, dan Dimana Rehabilitasi dapat diterapkan terhadap seorang Tersangka, Terdakwa, atau Terpidana? Pasal 54 UU No.35 tahun 2009 menyatakan Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pertanyaan berikutnya mengapa hanya Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika saja yang wajib menjalani rehabilitasi? bagaimana dengan pengguna atau penyalahguna? Bagaimana jika ia tidak sampai kepada tahap kecanduan?
Disinilah missing link dari percobaan penerapan sistem pemidanaan yang humanis. Mungkin pada saat penyusunan Draft RUU Narkotika, para Legislator kurang menelaah lebih jauh permasalahan narkotika dari sudut pandang para pakar dan profesional di bidang Penyalahgunaan Narkotika, atau mungkin ada unsur-unsur lain yang meminta agar draft RUU ini segera di sahkan apapun akibatnya nanti, semua hal tersebut hanya merupakan sebuah kemungkinan. setelah 4 tahun berlaku, yang saya lihat pada prakteknya adalah kebingungan, kerancuan, dan semakin banyaknya celah untuk mempermainkan hukum itu sendiri, sedangkan Hukum istu sendiri harus PASTI dan ADIL.
Adiksi, mungkin merupakan bahasa baru bagi masyarakat umum, dalam tulisan ini saya akan menyebut orang-orang yang disebut dalam UU Narkotika sebagai Pengguna, Penyalahguna, Korban Penyalahguna, atau Pecandu dengan sebutan ODMA (Orang Dengan Masalah Adiksi). Mengapa saya menyebutnya ODMA? saya memiliki beberapa alasan, yaitu :
1. WHO membagi masalah Adiksi dalam tahapan: Experimental (Pemakaian Coba-coba) –> Occasional (Pemakaian sesekali atau Social User) –> Regular (Pemakaian yang mulai teratur, 1minggu 2x / 1 bulan 2x) –> Habitual (Pola Pemakaian yang sudah menjadi kebiasaan) –> Dependent (Pemakaian yang sudah menimbulkan ketergantungan)
2. Adiksi adalah Penyakit (Penyakit Otak Kronis yang Kambuhan), disebutkan dalam artikel Disease Model of Addiction oleh Terence T.Gorski.
3. Seluruh Tahapan mulai dari coba-coba sampai dengan Ketergantungan/Kecanduan merupakan Tahapan Adiksi.
Bila 3 instansi terkait (Kemenkes, Kemensos, BNN) bahkan saat ini ditambah KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) telah sepakat untuk melihat masalah adiksi sebagai masalah penyakit otak kronis yang bersifat kambuhan, lantas bagaimana kabarnya perintah konstitusi kita pasal 28 H UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak memperoleh layanan kesehatan.
Dengan berlakunya dualisme sistem pemidanaan di dalam UU narkotika, dampak negatif yang dirasakan oleh para ODMA adalah :
1. Diskriminasi
2. Stigma Sosial
3. Hak Hukum untuk mendapatkan Layanan Kesehatan dan Pengobatan
Hal ini diperparah dengan Pemidanaan Penjara yang diancamkan kepada ODMA adalah ancaman Minimal , dalam arti mungkin saja akan ditemukan satu kasus seorang anak yang baru pertama kali menggunakan dengan barang bukti yang ditemukan 1 atau 2 linting ganja akan mendapatkan ancaman hukuman MINIMAL 4 tahun, Bravo…!!!
Hal terpenting saat ini adalah,
1. Penyamaan persepsi dan pandangan bahwa adiksi adalah Penyakit Otak Kronis Kambuhan
2. Sebutan Pengguna, Penyalahguna, Pecandu merupakan Stigma ! Mereka adalah ODMA (Orang Dengan Masalah Adiksi)
3. Dekriminalisasi terhadap ODMA
4. Revisi UU No.35 tahun 2009 tentang Narkotika, Hapuskan semua pasal terkait dengan ancaman pidana penjara bagi ODMA
5. Rehabilitasi sebagai Pintu gerbang usaha menyelamatkan anak bangsa

Layanan Detoksifikasi Gratis


Dalam Rangka memperingati Hari Anti Narkotika Internasional yang jatuh pada tanggal 26 Juni setiap tahunnya.Badan Narkotika Nasional (BNN) mengadakan Layanan Detoksifikasi GRATIS bagi 150 Pecandu Narkoba.

Waktu Pelaksanaan :
Layanan akan dibuka pada Rabu 08 Mei 2013 dan Ditutup pada tanggal 01 Juli 2013

Tempat Layanan:
Layanan Detoksifikasi akan dilaksanakan di Klinik Sejahtera, JL.Dewi Sartika 188, Cawang (Sebelah Bank BCA)

Dalam pelaksanaan layanan detoksifikasi gratis ini, BNN menunjuk beberapa LSM untuk menjadi penghubung dan penjangkau bagi calon klien yang berniat untuk mengikuti layanan ini. Adapun LSM tersebut antara lain :
1. Yayasan Adiksifitas
2. KARISMA
3. Rumah Cemara Bandung
4. Sahabat Rekan Sebaya
5. Kambal Care
6. Dll.

Persyaratan :
- Calon klien menghubungi LSM yang tersebut diatas
- Membawa Kartu Identitas diri
- Calon klien akan diantar oleh LSM tersebut diatas ke Tempat Layanan Detoksifikasi
- Bersedia mengikuti Layanan Rehabilitasi lanjutan baik rawat inap atau rawat jalan (berdasarkan hasil asesmen)

CATATAN :
- Rokok dan Alat Mandi tidak ditanggung oleh Pelaksana
- Bilamana dibutuhkan rujukan medis diluar layanan detoksifikasi maka biaya ditanggung oleh pihak keluarga/penanggung jawab.
- Klien Methadone dapat mengikuti layanan detoksifikasi (Dosis dibawah 30 mili)

Contact Person :
Yayasan Adiksifitas

Subhan H. (081808173910)