Pengguna, Korban Penyalahguna, Penyalahguna, dan
Pecandu merupakan Sebutan-sebutan bagi individu terkait dengan
Penyalahgunaan Narkotika yang tertera didalam UU No.35 tahun 2009
tentang Narkotika. Sejak ramainya kasus salah satu selebritis yang
tertangkap di rumahnya, Pidana rehabilitasi ramai dibicarakan, ada yang
mengatakan “Rehab itu hanya untuk pecandu“, di sisi lain ada yang mengatakan “Dia (RA) khan sehat-sehat saja, lantas buat apa di rehab“, beberapa ahli mengatakan “berdasarkan asesmen ia memiliki sejarah penyalahgunaan dan harus di rehab“.
Saya sebagai orang awam cukup bingung dengan ketentuan hukum yang berlaku bagi pasal Narkotika ini, khususnya sistem pemidanaan rehabilitasi. Bilamana, Bagaimana, Apa, Mengapa, dan Dimana Rehabilitasi dapat diterapkan terhadap seorang Tersangka, Terdakwa, atau Terpidana? Pasal 54 UU No.35 tahun 2009 menyatakan Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pertanyaan berikutnya mengapa hanya Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika saja yang wajib menjalani rehabilitasi? bagaimana dengan pengguna atau penyalahguna? Bagaimana jika ia tidak sampai kepada tahap kecanduan?
Disinilah missing link dari percobaan penerapan sistem pemidanaan yang humanis. Mungkin pada saat penyusunan Draft RUU Narkotika, para Legislator kurang menelaah lebih jauh permasalahan narkotika dari sudut pandang para pakar dan profesional di bidang Penyalahgunaan Narkotika, atau mungkin ada unsur-unsur lain yang meminta agar draft RUU ini segera di sahkan apapun akibatnya nanti, semua hal tersebut hanya merupakan sebuah kemungkinan. setelah 4 tahun berlaku, yang saya lihat pada prakteknya adalah kebingungan, kerancuan, dan semakin banyaknya celah untuk mempermainkan hukum itu sendiri, sedangkan Hukum istu sendiri harus PASTI dan ADIL.
Adiksi, mungkin merupakan bahasa baru bagi masyarakat umum, dalam tulisan ini saya akan menyebut orang-orang yang disebut dalam UU Narkotika sebagai Pengguna, Penyalahguna, Korban Penyalahguna, atau Pecandu dengan sebutan ODMA (Orang Dengan Masalah Adiksi). Mengapa saya menyebutnya ODMA? saya memiliki beberapa alasan, yaitu :
1. WHO membagi masalah Adiksi dalam tahapan: Experimental (Pemakaian Coba-coba) –> Occasional (Pemakaian sesekali atau Social User) –> Regular (Pemakaian yang mulai teratur, 1minggu 2x / 1 bulan 2x) –> Habitual (Pola Pemakaian yang sudah menjadi kebiasaan) –> Dependent (Pemakaian yang sudah menimbulkan ketergantungan)
2. Adiksi adalah Penyakit (Penyakit Otak Kronis yang Kambuhan), disebutkan dalam artikel Disease Model of Addiction oleh Terence T.Gorski.
3. Seluruh Tahapan mulai dari coba-coba sampai dengan Ketergantungan/Kecanduan merupakan Tahapan Adiksi.
Bila 3 instansi terkait (Kemenkes, Kemensos, BNN) bahkan saat ini ditambah KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) telah sepakat untuk melihat masalah adiksi sebagai masalah penyakit otak kronis yang bersifat kambuhan, lantas bagaimana kabarnya perintah konstitusi kita pasal 28 H UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak memperoleh layanan kesehatan.
Dengan berlakunya dualisme sistem pemidanaan di dalam UU narkotika, dampak negatif yang dirasakan oleh para ODMA adalah :
1. Diskriminasi
2. Stigma Sosial
3. Hak Hukum untuk mendapatkan Layanan Kesehatan dan Pengobatan
Hal ini diperparah dengan Pemidanaan Penjara yang diancamkan kepada ODMA adalah ancaman Minimal , dalam arti mungkin saja akan ditemukan satu kasus seorang anak yang baru pertama kali menggunakan dengan barang bukti yang ditemukan 1 atau 2 linting ganja akan mendapatkan ancaman hukuman MINIMAL 4 tahun, Bravo…!!!
Hal terpenting saat ini adalah,
1. Penyamaan persepsi dan pandangan bahwa adiksi adalah Penyakit Otak Kronis Kambuhan
2. Sebutan Pengguna, Penyalahguna, Pecandu merupakan Stigma ! Mereka adalah ODMA (Orang Dengan Masalah Adiksi)
3. Dekriminalisasi terhadap ODMA
4. Revisi UU No.35 tahun 2009 tentang Narkotika, Hapuskan semua pasal terkait dengan ancaman pidana penjara bagi ODMA
5. Rehabilitasi sebagai Pintu gerbang usaha menyelamatkan anak bangsa
Saya sebagai orang awam cukup bingung dengan ketentuan hukum yang berlaku bagi pasal Narkotika ini, khususnya sistem pemidanaan rehabilitasi. Bilamana, Bagaimana, Apa, Mengapa, dan Dimana Rehabilitasi dapat diterapkan terhadap seorang Tersangka, Terdakwa, atau Terpidana? Pasal 54 UU No.35 tahun 2009 menyatakan Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pertanyaan berikutnya mengapa hanya Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika saja yang wajib menjalani rehabilitasi? bagaimana dengan pengguna atau penyalahguna? Bagaimana jika ia tidak sampai kepada tahap kecanduan?
Disinilah missing link dari percobaan penerapan sistem pemidanaan yang humanis. Mungkin pada saat penyusunan Draft RUU Narkotika, para Legislator kurang menelaah lebih jauh permasalahan narkotika dari sudut pandang para pakar dan profesional di bidang Penyalahgunaan Narkotika, atau mungkin ada unsur-unsur lain yang meminta agar draft RUU ini segera di sahkan apapun akibatnya nanti, semua hal tersebut hanya merupakan sebuah kemungkinan. setelah 4 tahun berlaku, yang saya lihat pada prakteknya adalah kebingungan, kerancuan, dan semakin banyaknya celah untuk mempermainkan hukum itu sendiri, sedangkan Hukum istu sendiri harus PASTI dan ADIL.
Adiksi, mungkin merupakan bahasa baru bagi masyarakat umum, dalam tulisan ini saya akan menyebut orang-orang yang disebut dalam UU Narkotika sebagai Pengguna, Penyalahguna, Korban Penyalahguna, atau Pecandu dengan sebutan ODMA (Orang Dengan Masalah Adiksi). Mengapa saya menyebutnya ODMA? saya memiliki beberapa alasan, yaitu :
1. WHO membagi masalah Adiksi dalam tahapan: Experimental (Pemakaian Coba-coba) –> Occasional (Pemakaian sesekali atau Social User) –> Regular (Pemakaian yang mulai teratur, 1minggu 2x / 1 bulan 2x) –> Habitual (Pola Pemakaian yang sudah menjadi kebiasaan) –> Dependent (Pemakaian yang sudah menimbulkan ketergantungan)
2. Adiksi adalah Penyakit (Penyakit Otak Kronis yang Kambuhan), disebutkan dalam artikel Disease Model of Addiction oleh Terence T.Gorski.
3. Seluruh Tahapan mulai dari coba-coba sampai dengan Ketergantungan/Kecanduan merupakan Tahapan Adiksi.
Bila 3 instansi terkait (Kemenkes, Kemensos, BNN) bahkan saat ini ditambah KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) telah sepakat untuk melihat masalah adiksi sebagai masalah penyakit otak kronis yang bersifat kambuhan, lantas bagaimana kabarnya perintah konstitusi kita pasal 28 H UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak memperoleh layanan kesehatan.
Dengan berlakunya dualisme sistem pemidanaan di dalam UU narkotika, dampak negatif yang dirasakan oleh para ODMA adalah :
1. Diskriminasi
2. Stigma Sosial
3. Hak Hukum untuk mendapatkan Layanan Kesehatan dan Pengobatan
Hal ini diperparah dengan Pemidanaan Penjara yang diancamkan kepada ODMA adalah ancaman Minimal , dalam arti mungkin saja akan ditemukan satu kasus seorang anak yang baru pertama kali menggunakan dengan barang bukti yang ditemukan 1 atau 2 linting ganja akan mendapatkan ancaman hukuman MINIMAL 4 tahun, Bravo…!!!
Hal terpenting saat ini adalah,
1. Penyamaan persepsi dan pandangan bahwa adiksi adalah Penyakit Otak Kronis Kambuhan
2. Sebutan Pengguna, Penyalahguna, Pecandu merupakan Stigma ! Mereka adalah ODMA (Orang Dengan Masalah Adiksi)
3. Dekriminalisasi terhadap ODMA
4. Revisi UU No.35 tahun 2009 tentang Narkotika, Hapuskan semua pasal terkait dengan ancaman pidana penjara bagi ODMA
5. Rehabilitasi sebagai Pintu gerbang usaha menyelamatkan anak bangsa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar